Tafsir Al-Jalalain adalah salah satu tafsir yang paling luas
tersebar di dunia Islam dan yang paling banyak dibaca oleh kalangan ahli ilmu,
termasuk para penuntut ilmu di Indonesia, di Aceh salah satunya, kitab tafsir
jalalain dijadikan sebagai kurikulum didunia pendidikan dayah. Tafsir ini
diakui oleh kalangan ulama sebagai tafsir yang sangat banyak memberikan
manfaat. Metode yang digunakan oleh pengarang dalam tafsir ini adalah dengan
menyebutkan makna-makna dari setiap ayat Al-Qur’an, bersandar hanya kepada
riwayat yang paling kuat, memberikan catatan tentang kedudukan kalimat yang
dibutuhkan, dan memberikan penjelasan tentang perbedaan qiraat pada
tempat-tempat yang terdapat padanya perbedaan berdasarkan qiraat yang
termasyhur. Selain itu, pengarang juga menghindarkan sama sekali dari
bertele-tele dalam penjelasannya, sehingga setiap penjelasan yang ada
benar-benar ungkapan-ungkapam yang dipilih secara cermat dan tepat.
Keistimewaan
lain dari kitab tafsir jalalain, bisa dikatakan tidak ditemukan adanya
perbedaan pada gaya penafsiran, meski kitab ini ditulis oleh dua orang pakar
yang berbeda. Salah seorang ulama mengomentari bahwa perbedaan yang dapat
ditemukan hanyalah kurang dari sepuluh tempat dari semua uraian tafsir yang memuat
30 juz dari Al-Qur’an. Ini menunjukkan ketepatan dan kecermatan yang luar
biasa, baik dari pengarang utamanya, Imam Al-Mahalli, ataupun penerusnya, Imam
As-Suyuthi.
Tafsir
Jalalain adalah kitab fenomenal dalam perjalanan sejarah keilmuan Islam,
khususnya dalam bidang tafsir Al-Qur’an. Kelugasan bahasa dan metode penyampaiannya
yang sederhana tak mampu menghalangi ketermasyhurannya di tengah-tengah
ulama yang mu’tabar (mendalam dan luas) di dalam keilmuannya.
Ketermasyhuran
kitab tafsir ini tidak begitu saja lahir sebagai keajaiban semata-mata,
malainkan juga karena kebesaran kedua pengarangnya. Yakni, Imam Jalaluddin
Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi.
Kitab ini satu-satunya kitab tafsir yang penyusunnya dua orang. Uniknya mereka
tidak mengerjakannya secara bersamaan.
Siapa
yang tak kenal dengan Tafsir Jalalain? Setiap pengkaji tafsir al-Quran pasti
mengenal kitab tafsir ringkas yang disusun dua maestro ilmu tafsir, Jalaluddin
al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti. Jalaluddin, yang berarti orang yang
mengagungkan agama, adalah gelar yang diberikan kepada seorang ulama yang
dianggap sangat ahli dalam bebarapa ranah ilmu. Dalam khazanah tasawuf, misalnya,
nama Jalaluddin dinisbatkan kepada sufi besar Maulana Muhammad bin Muhammad
al-Qunuwi al-Balkhi ar-Rumi alias Jalaluddin Rumi.
Karena
disusun oleh dua Jalaluddin itulah kitab tafsir berusia empat abad yang menjadi
rujukan wajib di banyak pesantren ini dinamakan Tafsir Jalalain, Tafsir Dua
Jalal.
Jika
ditilik dari model penafsiran, Tafsir Jalalain cenderung menonjolkan analisis
kebahasaan atau nahwu dan sharaf, dari sisi susunan kalimat dan asal-usul kata,
serta analisis tajwid dan qiraah atau tata cara membaca al-Quran. Terkait
dengan al-Quran, penguasaan ilmu-ilmu tersebut merupakan pra-syarat mutlak
untuk bisa membaca dan memahami al-Quran dengan benar.
Meski
disebut-sebut penyusunnya oleh dua orang, sebenarnya al-Mahalli dan as-Suyuthi
tidak mengerjakannya dalam waktu yang bersamaan. Masing-masing penyusun yang
berbeda generasi itu hanya menulis tafsir separuh al-Quran pada masanya. Sebab
ketika sang mufassir pertama menyusun bagian pertama Tafsir Jalalain, mufassir
kedua baru saja memulai pengembaraannya mencari ilmu.
Sekali
tempo liku-liku arah pengembaraan membuat keduanya bertemu dalam hubungan guru
dan murid. Namun setelah itu mereka berpisah lagi. Baru beberapa tahun setelah
sang guru wafat, sang murid datang untuk meneruskan pekerjaan besar sang guru
yang belum usai.
Penulis
awal Tafsir Jalalain adalah Jalaluddin al-Mahalli, tokoh kelahiran Kairo,
Mesir, tahun 791H/1389 M, yang bernama asli Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin
Ibrahim bin Ahmad bin Hasyim al-Mahalli al-Mishri asy-Syafi’i. Uniknya, entah
mengapa, ulama besar yang juga termasyhur karena kealimannya di bidang fiqih,
ilmu kalam, nahwu dan manthiq dan karya-karya besarnya, itu mengawali penulisan
tafsirnya dari Surah al-Kahfi yang terletak di pertengahan juz lima belas lalu
terus ke belakang hingga surah terakhir, An-Nas.
Usai
menafsirkan Surah An-Nas, al-Mahalli lalu kembali ke halaman muka Al-Quran,
menafsirkan surah Al-Fatihah. Tadinya, setelah usai menafsirkan surah pertama
dalam Al-Quran itu ia akan melanjutkan dengan surah Al-Baqarah, Ali Imran dan
seterusnya hingga akhir surah Al-Isra. Namun taqdir berkata lain, ketika baru
selesai menulis tafsir Al-Fatihah, sang Allamah berpulang ke haribaan Allah
pada tahun 864 H/1459 M.
Gaya
Yang Sama
Merasa
sayang dengan karya besar sang guru yang nyaris terbengkalai, belasan tahun
kemudian, pekerjaan mulia itu pun dilanjutkan oleh salah satu murid al-Mahalli
yang saat itu telah menjadi ulama besar yang sangat alim, Abdurrahman bin
Kamaluddin Abi Bakar bin Muhammad Sabiquddin bin Fakhrudin bin Utsman bin
Nashiruddin Muhammad bin Saifudin Khidhir al-Khudhairi As-Suyuthi Al Mishri
Asy-Syafi’i, atau Jalaluddin as-Suyuthi. Secara mengagumkan, As-Suyuthi
melanjutkan penafsiran dari Surah Al-Baqarah sampai akhir Surah Al-Isra di juz
15, dengan metodologi serta pola dan gaya bahasa yang nyaris sama persis dengan
tulisan awal sang guru.
Jika
bukan karena ada keterangan bahwa kitab tafsir itu disusun oleh dua mufassir,
orang-orang pasti akan mengira penyusun Tafsir Jalalain hanya satu orang saja.
Bahkan, untuk menyamakan metodologi dengan sang pendahulu, As-Suyuthi juga
meletakkan surah Al-Fatihah berikut penafsirannya di akhir kitab.
Untuk
melengkapi penjelasan dalam kitab-kitab tafsirnya, Imam as-Suyuthi juga
menyusun kitab Lubabun Nuqul yang menjelaskan asbabun nuzul (sebab-musabab
turunnya sebuah ayat) setiap surah. Pada edisi cetak modern, kutipan asbabun
nuzul setiap surah Al-Quran tersebut tertera sebagai hasyiyah (catatan pinggir)
kitab Tafsir Jalalain. Selain itu juga dimuat kutipan kitab Nasikh wal Mansukh,
karya Imam Ibnu Hazim.
Pemuatan
asbabun nuzul tersebut dimaksudkan untuk menuntun pemahaman akan makna tafsir
yang benar sesuai dengan konteks sosial dan masalah ketika ayat tersebut turun.
Sedangkan nasikh wal mansukh (yang membatalkan dan yang dibatalkan) merupakan
salah satu sarana untuk memahami kesimpulan yang terkandung dalam ayat-ayat
Al-Quran.
Meski
terbilang sangat ringkas, informasi-informasi penting dalam Tafsir Jalalain
membuat kitab itu terus menjadi rujukan ulama, bahkan hingga saat ini.
Keringkasan penjabarannya juga mengundang minat banyak ulama sesudahnya untuk
menyusun komentar atas kitab tafsir tersebut. Sebut saja Majma’ al-Bahrain Wa
Mathla’ al-Badrain karya Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Karkhi, al-Futuhat
al-Ilahiyyah atau Hasyiyah al-Jamal dan Hasyiyah ash-Shawi karya Syaikh Ahmad
bin Muhammad ash-Shawi al-Mishri al-Maliki al-Khalwati.
Kebesaran
dua tokoh penyusun Tafsir Jalalain sangat melegenda. Di samping dikenal karena
pembahasannya yang luas dalam setiap kitab, Jalaluddin al-Mahalli dan
as-Suyuthi juga telah menghasilkan karya yang jumlahnya cukup banyak. Dalam
bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran, misalnya, as-Suyuthi telah menghasilkan
sedikitnya dua puluh kitab, seperti al-Itqan fi Ulumil Quran dan ad-Durrul
Mantsur fi Tafsir Bil Ma’tsur.
Semua
kitab-kitab karya as-Suyuthi selalu menarik untuk dikaji. Sebab, selain kajiannya
yang mendalam, setiap karyanya juga mempunyai keunikan. Kitab Ad-Durrul
Mantsur, misalnya, ialah sebuah kitab tafsir al-Qur’an yang sumbernya berasal
dari hadits-hadits yang diriwayatkan ath-Thabarani.
Dengan
teliti as-Suyuthi menukil semua hadits marfu’ (periwayatannya sampai kepada
Rasulullah SAW) dan atsar (ucapan atau keterangan) para sahabat dan tabi’in
yang menafsirkan atau mengulas ayat-ayat al-Quran. Namun, berbeda dengan setiap
hadits selalu ia jelaskan juga derajat keshahihannya, atsar-atsar yang nukilnya
ia biarkan saja tanpa komentar.
Muhaddits
Piawai
Selain
mufassir, As-Suyuthi memang dikenal juga sebagai muhaddits piawai. Tengok saja
karya-karya dalam bidang hadits yang jumlahnya tak kurang dua belas kitab. Di
antaranya yang paling populer adalah Ainul Ishabah Fi Ma’rifati ash-Shahabah,
Durru ash-Shahabah Fi Man Dakhala Mishra Minash Shahabah dan al-Luma’ Fi
Asmaa`i Man Wadla’.
As-Suyuthi
lahir ba’da Maghrib, malam Senin bulan Rajab 849 H, enam tahun sebelum bapaknya
wafat. Ia berasal dari lingkungan cendekiawan. Tak heran sejak dini ayahnya
berusaha mengarahkannya menjadi ilmuwan dan orang shalih.
Sejak
usia belia ia selalu diajak sang ayah menghadiri berbagai majelis ilmu. Di
forum yang mulai itu sang ayah sering meminta doa dari ulama besar untuk
anaknya. Salah satu ulama yang pernah mendoakan as-Suyuthi agar menjadi ulama
besar adalah Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, muhaddits besar penyusun kitab
Bulughul Maram. Tak hanya mendoakan, setiap kali minum segelas air usai
mengajar, Syaikh Ibnu Hajar selalu menyisakan sedikit untuk diminum as-Suyuthi.
Ketika
sang ayah wafat, as-Suyuthi diasuh oleh Syaikh Kamaluddin bin Humam al-Hanafi,
pengarang kitab Fathul Qadir. Di bawah asuhan sang allamah itulah as-Suyuthi
berhasil hafal al-Qur’an di usia delapan tahun. Setelah itu ia lalu menghafal
kitab al-’Umdah, lalu Minhajul Fiqhi Wal Ushul dan Alfiyah Ibnu Malik.
Ketika
usianya menginjak 15 tahun, as-Suyuthi mulai berkelana dan berguru kepada para
ulama besar. Sebut saja Syaikh Siraajuddien al-Balqini, yang mengajarnya
berbagai kitab fiqih seperti al-Hawi Ash-Shaghir, Al-Minhaj, Syarah Al-Minhaaj
dan Ar-Raudhah. Syaikh Sihabuddin Asy-Syaarmasahi dan Asy-Syari Al-Manawi Abaz
Kuriya Yahya bin Muhammad, guru-guru ilmu faraidh (waris)-nya.
As-Suyuthi
juga menimba ilmu tata Bahasa Arab dan ilmu hadits kepada Syaikh Taqiyuddin
Asy-Syamini Al-Hanafi (w 872 H), dan berguru ilmu tafsir, ilmu Ushul, ilmu
bahasa Arab dan ilmu Ma’ani kepada Syaikh Muhyiddin Muhammad bin Sulaiman
Ar-Rumi Al-Hanafi selama empat belas tahun. Ia juga sempat berguru kepada
Jalaluddin Al-Mahalli (penyusun pertama Tafsir Al-Jalalain) dan ‘Izzul Kinaani
Ahmad bin Ibrahim al-Hanbali, serta banyak lagi ulama yang lain.
Selain
ilmu agama, Imam Suyuthi juga beberapa bidang ilmu umum seperti ilmu hitung dan
ilmu faraidl dari Majid bin As-Siba’ dan Abdul Aziz Al-Waqaai, serta ilmu
kedokteran kepada Muhammad bin Ibrahim Ad-Diwani Ar-Rumi.
Syaikh
Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, salah satu murid As-Suyuthi mengatakan dalam kitab
Thabaqat-nya, bahwa gurunya telah berguru kepada lebih dari 600 ulama.
Ditunjang modal kecerdasan, kekuatan hafalan dan keuletan belajar, As-Suyuthi
yang ahli ibadah, zuhud dan tawadhu’ pun segera menjelma menjai seorang ulama
besar yang memenuhi taraf kemampuan untuk berijtihad.
Selain
alim, Imam Suyuthi juga dikenal sebagai sosok yang teguh pendirian dan tak suka
menjilat kepada pemerintah. Bahkan ia tak pernah mau menerima hadiah dari raja.
Suatu ketika raja Ghuri memberinya hadiah berupa uang seribu dinar dan seorang
budak perempuan. Segera saja uang itu dikembalikan. Sedangkan sang budak
perempuan itu dimerdekakan. Ia lalu berkata kepada sang raja, “jangan berusaha memalingkanku
hanya dengan memberi hadiah semacam itu, karena Allah telah menjadikanku tidak
merasa butuh lagi terhadap hal-hal semacam itu.”
Dan
setelah hidup dengan penuh gemilang cahaya ilmu dan ibadah, ulama yang telah
menulis lebih dari 500 judul kitab itu wafat pada hari Jum’at, 19 Jumadi Ula
911 H. Sebelumnya sang Allamah sempat menderita sakit selama tujuh hari,
sebelum akhirnya berpulang dalam usia 61 tahun 10 bulan 18 hari. Jenazah
ilmuwan agung itu dimakamkan di pemakaman Qaushun atau Qaisun, di luar pintu
gerbang Qarafah, di Kairo, yang terkenal dengan sebutan Bawwabah As-Sayyidah
‘Aisyah (Pintu gerbang Sayyidah ‘Aisyah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar