بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
🔹Ibnu
katsir adalah ulama’ yang ahli tentang ilmu – ilmu al- qur’an dan
as –sunnah , sejarah umat – umat terdahulu dan yang akan datang. Allah
memberinya karunia berupa pandangan yang tajam dan mendalam
tentang sunnatullah yang berkaitan dengan kemaslahatan , kerusakan , kemajuan ,
kemunduran , serta hancurnya umat ini. Kitabnya, TAFSIR IBNU KATSIR , merupakan kitab paling penting yang
tertulis dalam masalah tafsir al-qur’anul ‘adzim, paling agung,
paling banyak diterima dan tersebar di seluruh dunia .
Beliau adalah IMAM yang mulia Abul fida’ ‘Imaduddin isma’il bin ‘’umar bin katsir al – Quraasyi al – Bushrawi yang berasal dari kota Bashrah , Irak , kemudian menetap , belajar dan mengajar di Damaskus . Dilahirkan di Mijdal, sebuah tempat di kota Bashrah pada tahun 701 H (1302 M)
Ayah beliau adalah seorang khatib di kota itu. Ayahnya meninggal ketika beliau baru berusia 4 tahun. Kemudian beliau diasuh oleh kakaknya, Syaikh ‘Abdul Wahhab dan dialah yang mendidik beliau di usia dininya, kemudian beliau berusia 5 tahun.
▪Beliau menimba ilmu
kepada para ulama dimasa itu. Diantara guru yang terkenal adalah sebagai
berikut:
🔹Al Hafizh Al Kabir Abul Hajjaj Yusuf bin az Zaki Abdurrahman bin Yusuf Al Mizzi. Beliau memfokuskan diri untuk mempelajari ilmu hadits kepada Al Mizzi. Al Mizzi adalah guru yang paling berpengaruh dalam kehidupan beliau Rohimahullah. Disamping guru, Al Mizzi juga sebagai mertua beliau, karena beliau mempersunting putri Al Mizzi, yang bernama Ammatu Rahim Zainab.
🔹Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim bin Abil Qasim bin Taimiyah al Harrani Rohimahullah. Beliau juga menimba ilmu sekian lamanya dengan mempelajari banyak ilmu kepada ibnu Taimiyah Rohimahullah. Ibnu Taimiyah pun banyak memberikan pengaruh dalam kehidupan beliau. Beliau menyebutkan tentang biografi ibnu Taimiyah dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah, Antara aku dan beliau terjalin kecintaan dan persahabatan dari kecil. Saking dekatnya persahabatan dengan ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir pun ikut mendapatkan cobaan sebagai mana dialami ibnu Taimiyah. Dari sini ada sebuah pelajaran berharga bagi kita semua bahwa perbedaan madzhab bukanlah sebagai alasan untuk bersikap Fanatik. Sebab, sikap Fanatik akan menghalangi seseorang dalam belajar atau mengajarkan ilmu satu sama lain. Ibnu Katsir adalah seorang tokoh ulama Syafi'iyah (Madzahb Syafi'i) dan ibnu Taimiyah adalah tokoh Ulama Hanabilah (Madzhab Hanbali).
🔹Al Hafidzh Al Kabir Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin 'Utsman Adz dzahabi. Beliau adalah salah seorang tokoh ulama yang sangat mumpuni dalam ilmu sejarah dan ilmu hadits, Ibnu Katsir menyebutkan tentang biografi Adz Dzahabi dalam kitab Al Bidayah Wa an Nihayah, Beliau adalah tokoh penutup para ulama Ahlul Hadits dan para penghapal Hadits.
Abu Ja'far
ar-Razi meriwayatkan dari al-'Alla' bin al-Musayyab bin Rafi', dari Abu Ishaq,
dari Abul Ahwash, dari 'Abdullah, ia berkata: "Iman itu adalah
pembenaran." (23)
'Ali bin Abi Thalhah dan juga yang lainnya
menceritakan dari Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma, ia mengatakan:
"Yu'-minuuna 'Mereka yang beriman', maknanya adalah mereka
membenarkan." (24)
Sedangkan Ma'mar mengatakan dari az-Zuhri bahwa
iman adalah 'amal. (25)
Abu Ja'far ar-Razi meriwayatkan dari ar-Rabi'
bin Anas: "Yu'-minuuna 'Mereka yang beriman', maknanya mereka takut."
(26)
Ibnu Jarir mengatakan: "Yang lebih baik dan
tepat adalah mereka harus menyifati diri dengan iman kepada yang ghaib, baik
melalui ucapan, perbuatan maupun keyakinan. Kata iman itu mencakup keimanan
kepada Allah, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya sekaligus membuktikan
pernyataan itu melalui 'amal perbuatan."
Aku (penulis) katakan: "Adapun secara
bahasa, iman berarti pembenaran semata. Al-Qur-an terkadang menggunakan kata
ini untuk pengertian tersebut. Sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala:
"Ia beriman kepada Allah, dan mempercayai orang-orang mukmin." (QS.
At-Taubah: 61)
Dan sebagaimana perkataan saudara-saudara Yusuf
kepada ayah mereka: "Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami,
sekalipun kami adalah orang-orang yang benar." (QS. Yusuf: 17)
Demikian pula ketika kata iman digunakan
beriringan dengan 'amal shalih, sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa
Ta'aala: "Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan 'amal
shalih." (QS. Al-'Ashr: 3)
Adapun jika kata itu digunakan secara mutlak,
maka iman menurut syari'at tidak mungkin terwujud kecuali melalui keyakinan,
ucapan dan 'amal perbuatan." (27)
Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Dalam hal
ini telah banyak hadits maupun atsar yang membahasnya. Dan kami telah
menyajikannya secara khusus dalam kitab Syarh al-Bukhari. Hanya milik Allah-lah
pujian dan sanjungan.
Di antara 'ulama ada yang menafsirkannya dengan
rasa takut sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Sesungguhnya
orang-orang yang takut kepada Rabbnya yang tidak tampak oleh mereka." (QS.
Al-Mulk: 12)
Dia juga berfirman: "(Yaitu) orang yang
takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah, sedang Dia tidak terlihat (olehnya) dan
dia datang dengan hati yang bertaubat." (QS. Qaaf: 33)
Rasa takut adalah buah dari iman dan 'ilmu,
sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah 'ulama." (QS. Faathir: 28)
Yang
Dimaksud dengan al-Ghaib
Adapun tentang maksud dari al-ghaib, terdapat
berbagai ungkapan 'ulama Salaf yang beragam dan semua benar serta sesuai dengan
apa yang dimaksud.
Tentang firman Allah, "Yaitu mereka yang
beriman kepada yang ghaib." (QS. Al-Baqarah: 3) Abu Ja'far ar-Razi
meriwayatkan dari ar-Rabi' bin Anas, dari Abul 'Aliyah, ia mengatakan:
"Mereka beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, hari Akhir, Surga dan Neraka serta pertemuan dengan Allah.
Mereka pun mengimani adanya kehidupan setelah kematian serta adanya hari
kebangkitan. Dan semua itu adalah perkara ghaib." Hal senada juga
dikatakan oleh Qatadah bin Di'amah. (28)
Sa'id bin Manshur meriwayatkan dari 'Abdurrahman
bin Yazid, ia mengatakan: "Kami duduk-duduk bersama 'Abdullah bin Mas'ud.
Maka kami pun mengenang para Shahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan
apa yang telah mereka lakukan. Maka 'Abdullah bin Mas'ud berkata: 'Sesungguhnya
kenabian Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam telah jelas bagi orang yang
melihatnya. Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar
melainkan Dia, tidaklah seseorang itu beriman dengan keimanan yang lebih agung
daripada keimanan kepada yang ghaib.'
Kemudian dia membaca ayat:
"Alif laam miim. Kitab (al-Qur-an) ini
tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka
yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman
kepada Kitab (al-Qur-an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang
telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya, dan merekalah
orang-orang yang beruntung.' (QS. Al-Baqarah: 1-5)." (29)
Hal senada juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim, Ibnu Mardawaih dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. (30)
Al-Hakim mengatakan: "Hadits ini shahih
menurut syarat al-Bukhari dan Muslin, namun keduanya tidak meriwayatkan."
Mengenai makna hadits ini, Imam Ahmad
meriwayatkan dari Ibnu Muhairiz, ia menceritakan: "Aku pernah berkata
kepada Abu Jam'ah ra-dhiyallaahu 'anhu: 'Beritahukanlah kepada kami sebuah
hadits yang engkau dengar dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam!' Ia
pun berkata: 'Baiklah, akan aku sampaikan sebuah hadits kepadamu. Kami pernah
makan siang bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Di antara kami
ada Abu 'Ubaidah bin al-Jarrah, lalu ia bertanya: 'Wahai Rasulullah, adakah
seseorang yang lebih baik dari kami, sedangkan kami telah masuk Islam dan
berjihad bersamamu?' Maka beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
'Ya, ada. Yaitu suatu kaum setelah kalian,
mereka beriman kepadaku, padahal mereka tidak melihatku.'" (31)
...wa yuqiimuunash shalaata wa mimmaa
razaqnaahum yunfiquun
...yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS. Al-Baqarah: 3)
Makna
Mendirikan Shalat
Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma mengatakan:
"Wa yuqiimuunash shalaata 'Mendirikan shalat', berarti mendirikan shalat
dengan seluruh kewajibannya." (32)
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, ia
mengatakan: "Mendirikan shalat berarti mengerjakan dengan menyempurnakan
ruku', sujud, dan bacaannya dengan penuh kekhusyu'an dan menghadapkan hati
kepada Allah di dalamnya." (33)
Qatadah berkata: "(Mendirikan shalat)
berarti berusaha mengerjakannya tepat waktu, serta menjaga wudhu', ruku', dan
sujudnya." (34)
Sedangkan Muqatil bin Hayyan mengatakan:
"(Mendirikan shalat) berarti menjaga untuk selalu mengerjakannya tepat
waktu, menyempurnakan wudhu', ruku', sujud, bacaan al-Qur-an, tasyahud, serta
membaca shalawat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Demikianlah
makna mendirikan shalat." (35)
Yang
Dimaksud dengan Infaq
'Ali bin Abi Thalhah dan yang lainnya
meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas tentang firman Allah: "Wa mimmaa razaqnaahum
yunfiquun 'Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka',
ia mengatakan: 'Maksudnya adalah mengeluarkan zakat dari harta kekayaan yang ia
miliki.'" (36)
As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik dan Abu
Shalih, keduanya meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dan Murrah, keduanya
meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan beberapa Shahabat Nabi shallallaahu 'alaihi
wa sallam, ia mengatakan: "'Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami
anugerahkan kepada mereka', maksudnya adalah nafkah yang diberikan seseorang
kepada keluarganya." Dan ini sebelum turun ayat tentang zakat. (37)
Juwaibir meriwayatkan dari adh-Dhahhak, ia
mengatakan: "Dahulu, infaq adalah 'amal yang dilakukan untuk mendekatkan
diri kepada Allah sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang mereka miliki,
hingga turunlah ayat tentang kewajiban-kewajiban shadaqah, yakni tujuh ayat
dalam surat at-Taubah yang menerangkan tentang shadaqah, dan ini adalah
ayat-ayat yang menasakh (menghapuskan) hukum yang ada dan menetapkan hukum yang
baru." (38)
Aku (Ibnu Katsir) katakan: "Sering kali
Allah menyandingkan antara shalat dan infaq (zakat). Karena sesungguhnya shalat
merupakan hak Allah dan sekaligus sebagai bentuk 'ibadah kepada-Nya. Ia
mencakup pengesaan, sanjungan, pengharapan, pujian, permohonan do'a, dan
tawakkal kepada-Nya. Sedangkan infaq merupakan satu bentuk perbuatan baik
kepada sesama makhluk dengan memberikan manfaat kepada mereka. Dan yang paling
berhak mendapatkannya adalah keluarga, kaum kerabat serta orang-orang terdekat.
Dengan demikian segala bentuk nafkah dan zakat yang wajib tercakup dalam firman
Allah Ta'ala: "Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada
mereka."
Oleh karena itu, tercantum dalam kitab Shahiih
al-Bukhari dan Shahiih Muslim, dari Ibnu 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhuma, bahwa
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Islam didirikan di atas lima dasar:
Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah
dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa
di bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji." (39)
Dan hadits-hadits dalam masalah ini sangatlah
banyak.
Makna
Shalat
Dalam percakapan bahasa Arab, shalat adalah
do'a. Kemudian menurut syari'at, shalat diartikan sebagai ruku', sujud, dan
amalan-amalan khusus pada waktu yang khusus dengan syarat-syaratnya yang jelas
serta sifat-sifat dan macamnya yang telah masyhur.
===
(23) Tafsiir ath-Thabari 1/235.
(24) Ibid (sama dengan atas).
(25) Ibid.
(26) Ibid.
(27) Ibnu Abi Hatim 1/35.
(28) Tafsiir ath-Thabari 1/236.
(29) Sa'id bin Manshur 2/544.
(30) Ibnu Abi Hatim 1/34, dan al-Hakim 2/260.
(31) Ahmad 4/106. Dishahihkan oleh Syaikh
al-Arna'uth hafizhahullaah dalam al-Musnad 28/184 no. 16977, cet. Ar-Risalah.
(32) Tafsiir ath-Thabari 1/241.
(33) Tafsiir ath-Thabari 1/241.
(34) Ibnu Abi Hatim 1/37.
(35) Ibnu Abi Hatim 1/37.
(36) Tafsiir ath-Thabari 1/243.
(37) Tafsiir ath-Thabari 1/243.
(38) Tafsiir ath-Thabari 1/243.
(39) Fat-hul Baari 1/64 dan Muslim 1/45.
Al-Bukhari no. 8, Muslim no. 16, 22.
'Ali bin Abi Thalhah dan juga yang lainnya menceritakan dari Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma, ia mengatakan: "Yu'-minuuna 'Mereka yang beriman', maknanya adalah mereka membenarkan." (24)
Sedangkan Ma'mar mengatakan dari az-Zuhri bahwa iman adalah 'amal. (25)
Abu Ja'far ar-Razi meriwayatkan dari ar-Rabi' bin Anas: "Yu'-minuuna 'Mereka yang beriman', maknanya mereka takut." (26)
Ibnu Jarir mengatakan: "Yang lebih baik dan tepat adalah mereka harus menyifati diri dengan iman kepada yang ghaib, baik melalui ucapan, perbuatan maupun keyakinan. Kata iman itu mencakup keimanan kepada Allah, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya sekaligus membuktikan pernyataan itu melalui 'amal perbuatan."
Aku (penulis) katakan: "Adapun secara bahasa, iman berarti pembenaran semata. Al-Qur-an terkadang menggunakan kata ini untuk pengertian tersebut. Sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Ia beriman kepada Allah, dan mempercayai orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah: 61)
Dan sebagaimana perkataan saudara-saudara Yusuf kepada ayah mereka: "Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar." (QS. Yusuf: 17)
Demikian pula ketika kata iman digunakan beriringan dengan 'amal shalih, sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan 'amal shalih." (QS. Al-'Ashr: 3)
Adapun jika kata itu digunakan secara mutlak, maka iman menurut syari'at tidak mungkin terwujud kecuali melalui keyakinan, ucapan dan 'amal perbuatan." (27)
Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Dalam hal ini telah banyak hadits maupun atsar yang membahasnya. Dan kami telah menyajikannya secara khusus dalam kitab Syarh al-Bukhari. Hanya milik Allah-lah pujian dan sanjungan.
Di antara 'ulama ada yang menafsirkannya dengan rasa takut sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya yang tidak tampak oleh mereka." (QS. Al-Mulk: 12)
Dia juga berfirman: "(Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah, sedang Dia tidak terlihat (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat." (QS. Qaaf: 33)
Rasa takut adalah buah dari iman dan 'ilmu, sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah 'ulama." (QS. Faathir: 28)
Adapun tentang maksud dari al-ghaib, terdapat berbagai ungkapan 'ulama Salaf yang beragam dan semua benar serta sesuai dengan apa yang dimaksud.
Tentang firman Allah, "Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib." (QS. Al-Baqarah: 3) Abu Ja'far ar-Razi meriwayatkan dari ar-Rabi' bin Anas, dari Abul 'Aliyah, ia mengatakan: "Mereka beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir, Surga dan Neraka serta pertemuan dengan Allah. Mereka pun mengimani adanya kehidupan setelah kematian serta adanya hari kebangkitan. Dan semua itu adalah perkara ghaib." Hal senada juga dikatakan oleh Qatadah bin Di'amah. (28)
Sa'id bin Manshur meriwayatkan dari 'Abdurrahman bin Yazid, ia mengatakan: "Kami duduk-duduk bersama 'Abdullah bin Mas'ud. Maka kami pun mengenang para Shahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan apa yang telah mereka lakukan. Maka 'Abdullah bin Mas'ud berkata: 'Sesungguhnya kenabian Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam telah jelas bagi orang yang melihatnya. Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, tidaklah seseorang itu beriman dengan keimanan yang lebih agung daripada keimanan kepada yang ghaib.'
Kemudian dia membaca ayat:
"Alif laam miim. Kitab (al-Qur-an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur-an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya, dan merekalah orang-orang yang beruntung.' (QS. Al-Baqarah: 1-5)." (29)
Hal senada juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. (30)
Al-Hakim mengatakan: "Hadits ini shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslin, namun keduanya tidak meriwayatkan."
Mengenai makna hadits ini, Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muhairiz, ia menceritakan: "Aku pernah berkata kepada Abu Jam'ah ra-dhiyallaahu 'anhu: 'Beritahukanlah kepada kami sebuah hadits yang engkau dengar dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam!' Ia pun berkata: 'Baiklah, akan aku sampaikan sebuah hadits kepadamu. Kami pernah makan siang bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Di antara kami ada Abu 'Ubaidah bin al-Jarrah, lalu ia bertanya: 'Wahai Rasulullah, adakah seseorang yang lebih baik dari kami, sedangkan kami telah masuk Islam dan berjihad bersamamu?' Maka beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
'Ya, ada. Yaitu suatu kaum setelah kalian, mereka beriman kepadaku, padahal mereka tidak melihatku.'" (31)
...wa yuqiimuunash shalaata wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun
...yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS. Al-Baqarah: 3)
Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma mengatakan: "Wa yuqiimuunash shalaata 'Mendirikan shalat', berarti mendirikan shalat dengan seluruh kewajibannya." (32)
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, ia mengatakan: "Mendirikan shalat berarti mengerjakan dengan menyempurnakan ruku', sujud, dan bacaannya dengan penuh kekhusyu'an dan menghadapkan hati kepada Allah di dalamnya." (33)
Qatadah berkata: "(Mendirikan shalat) berarti berusaha mengerjakannya tepat waktu, serta menjaga wudhu', ruku', dan sujudnya." (34)
Sedangkan Muqatil bin Hayyan mengatakan: "(Mendirikan shalat) berarti menjaga untuk selalu mengerjakannya tepat waktu, menyempurnakan wudhu', ruku', sujud, bacaan al-Qur-an, tasyahud, serta membaca shalawat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Demikianlah makna mendirikan shalat." (35)
'Ali bin Abi Thalhah dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas tentang firman Allah: "Wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun 'Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka', ia mengatakan: 'Maksudnya adalah mengeluarkan zakat dari harta kekayaan yang ia miliki.'" (36)
As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik dan Abu Shalih, keduanya meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dan Murrah, keduanya meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan beberapa Shahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, ia mengatakan: "'Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka', maksudnya adalah nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya." Dan ini sebelum turun ayat tentang zakat. (37)
Juwaibir meriwayatkan dari adh-Dhahhak, ia mengatakan: "Dahulu, infaq adalah 'amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang mereka miliki, hingga turunlah ayat tentang kewajiban-kewajiban shadaqah, yakni tujuh ayat dalam surat at-Taubah yang menerangkan tentang shadaqah, dan ini adalah ayat-ayat yang menasakh (menghapuskan) hukum yang ada dan menetapkan hukum yang baru." (38)
Aku (Ibnu Katsir) katakan: "Sering kali Allah menyandingkan antara shalat dan infaq (zakat). Karena sesungguhnya shalat merupakan hak Allah dan sekaligus sebagai bentuk 'ibadah kepada-Nya. Ia mencakup pengesaan, sanjungan, pengharapan, pujian, permohonan do'a, dan tawakkal kepada-Nya. Sedangkan infaq merupakan satu bentuk perbuatan baik kepada sesama makhluk dengan memberikan manfaat kepada mereka. Dan yang paling berhak mendapatkannya adalah keluarga, kaum kerabat serta orang-orang terdekat. Dengan demikian segala bentuk nafkah dan zakat yang wajib tercakup dalam firman Allah Ta'ala: "Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka."
Oleh karena itu, tercantum dalam kitab Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim, dari Ibnu 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Islam didirikan di atas lima dasar: Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji." (39)
Dan hadits-hadits dalam masalah ini sangatlah banyak.
Dalam percakapan bahasa Arab, shalat adalah do'a. Kemudian menurut syari'at, shalat diartikan sebagai ruku', sujud, dan amalan-amalan khusus pada waktu yang khusus dengan syarat-syaratnya yang jelas serta sifat-sifat dan macamnya yang telah masyhur.
===
(23) Tafsiir ath-Thabari 1/235.
(24) Ibid (sama dengan atas).
(25) Ibid.
(26) Ibid.
(27) Ibnu Abi Hatim 1/35.
(28) Tafsiir ath-Thabari 1/236.
(29) Sa'id bin Manshur 2/544.
(30) Ibnu Abi Hatim 1/34, dan al-Hakim 2/260.
(31) Ahmad 4/106. Dishahihkan oleh Syaikh al-Arna'uth hafizhahullaah dalam al-Musnad 28/184 no. 16977, cet. Ar-Risalah.
(32) Tafsiir ath-Thabari 1/241.
(33) Tafsiir ath-Thabari 1/241.
(34) Ibnu Abi Hatim 1/37.
(35) Ibnu Abi Hatim 1/37.
(36) Tafsiir ath-Thabari 1/243.
(37) Tafsiir ath-Thabari 1/243.
(38) Tafsiir ath-Thabari 1/243.
(39) Fat-hul Baari 1/64 dan Muslim 1/45. Al-Bukhari no. 8, Muslim no. 16, 22.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar